Kamis, 18 Januari 2018

INDONESIA AJUKAN PENETAPAN TRAFFIC SEPARATION SCHEME (TSS) SELAT LOMBOK DAN SELAT SUNDA KE IMO


Share :
10159 view(s)

J A K A R T A – Sejalan dengan visi dan misi Presiden RI, Joko Widodo yang tertuang dalam nawa cita untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, Indonesia melalui Kementerian Perhubungan Cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut terus memperkuat kedaulatan maritim Indonesia dengan mengajukan penetapan Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Lombok dan Selat Sunda kepada International Maritime Organization (IMO). 


Penetapan TSS di Selat Lombok dan Selat Sunda dimaksud rencananya akan dibahas sebagai Agenda Item 3 pada Sidang IMO Sub-Committee on Navigation, Communication, Search & Rescue (NCSR) ke-5, yang akan diselenggarakan pada tanggal 19 s.d. 23 Februari 2018 bertempat di Markas Besar IMO di London.

Masuknya Pembahasan Penetapan TSS di Selat Lombok dan Selat Sunda sebagai Agenda Item 3 pada Sidang IMO Sub-Committee on NCSR ke-5 ini sebelumnya telah melewati beberapa kali studi, kajian, serta pembahasan dengan melibatkan Kementerian/Lembaga serta Stakeholder terkait melalui kegiatan workshop dan Focus Group Discussion (FGD) Penetapan TSS Selat Lombok dan Selat Sunda pada tanggal 8 Agustus 2017 dan 5 September 2017 yang lalu.

Rencana Penetapan TSS di Selat Lombok dan Selat Sunda ini juga sudah diinformasikan melalui pertemuan Cooperative Mechanism Meeting pada Sesi Cooperation Forum (CF) ke-10 di Kota Kinabalu, Malaysia pada tanggal 2 s.d. 3 Oktober 2017, yang dihadiri oleh 3 (tiga) Negara Pantai (Singapura, Malaysia, Indonesia), beberapa Negara Anggota IMO, serta Stakeholder pelayaran Internasional pengguna Selat Malaka dan Selat Singapura.

Dirjen Perhubungan Laut, R. Agus H. Purnomo, menyatakan bahwa seluruh Kementerian/Lembaga terkait di Indonesia perlu bekerjasama melangkah kedepan untuk mendukung rencana penetapan TSS di Selat Lombok dan Selat Sunda, mengingat kedua Selat dimaksud merupakan jalur transportasi yang sangat vital dan strategis bagi pelayaran internasional.

“Padatnya lalu lintas di kedua Selat tersebut membutuhkan perhatian dari semua pihak, karena besarnya risiko kecelakaan kapal yang mungkin terjadi,” ujar Dirjen Agus.

Untuk itu, Indonesia perlu memanfaatkan waktu yang tersedia untuk menyempurnakan draft proposal komprehensif yang telah ada serta berkoordinasi dengan seluruh stakeholder terkait, baik di dalam maupun luar negeri.

“Target kita ke depan adalah bagaimana menggalang dukungan dari negara-negara anggota IMO serta Stakeholder lainnya, sehingga diharapkan Draft Penetapan TSS di kedua Selat tersebut dapat diadopsi pada Sidang IMO NCSR ke-6 tahun depan,” tambah Agus.

Senada dengan Dirjen Agus, Direktur Kenavigasian, Sugeng Wibowo juga menyatakan pentingnya dukungan dari negara-negara Anggota IMO serta Stakeholder lainnya dalam Penetapan TSS Selat Lombok dan Selat Sunda, hal ini mengingat Selat Sunda merupakan bagian dari Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, yang menghubungkan perairan Samudera Hindia melewati Selat Karimata.

“Indonesia adalah negara yang pertama kali mengajukan TSS di Alur Laut Kepulauan, sehingga pasti akan menjadi perhatian bagi seluruh negara anggota IMO,” jelas Sugeng.

Lebih lanjut, Sugeng menjelaskan bahwa Penetapan TSS di Selat Lombok dan Selat Sunda adalah bentuk komitmen Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dalam meningkatkan keselamatan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim, sekaligus untuk meningkatkan pengawasan kapal-kapal yang melintas di Alur Laut Kepulauan Indonesia, terutama di Selat Lombok dan Selat Sunda.

“Khusus pada Selat Lombok, TSS akan berfungsi sebagai Associated Protective Measures (APMs) pada Particularly Sensitive Sea Area (PSSA) di wilayah Selat Lombok, yang rencananya juga akan kita ajukan ke IMO,” tutur Sugeng.

Sedangkan pengajuan TSS di Selat Sunda, menurut Sugeng, lebih mengutamakan aspek pengaturan lalu lintas kapal guna meningkatkan keselamatan pelayaran.

“Penetapan TSS di Selat Sunda sudah menjadi kebutuhan untuk mewujudkan keselamatan pelayaran di kawasan tersebut, mengingat kapal yang melintasi Selat tersebut sudah mencapai 50.000 kapal setiap tahunnya, yang tentunya akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan perekonomian,” tambah Sugeng.

Sebagai informasi, Traffic Separation Scheme (TSS) merupakan suatu skema pemisahan jalur lalu lintas pelayaran kapal-kapal yang berlawanan arah dalam suatu alur pelayaran yang ramai dan sempit, misalnya alur pelayaran saat memasuki pelabuhan atau selat.

Penetapan TSS tentu saja mempertimbangkan kondisi lebar alur pelayaran, dimensi kapal, serta kepadatan lalu lintas pelayaran, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 129 Tahun 2016 Tentang Alur Pelayaran di Laut dan Bangunan dan/atau Instalansi di Perairan.

Sedangkan pertimbangan dalam penentuan dan penyusunan data teknis TSS mengacu pada hasil survey bathymetri, traffic density, channel cross section and alignment, navigational traffic patterns, water and wind current, serta visibility and ship controlling yang dianalisa dan dilakukan permodelan dengan menggunakan aplikasi IALA-Waterways Risk Assessment Program (IWRAP), yang merupakan Risk Assessment Tools yang biasa digunakan oleh Negara Anggota IMO dalam mengajukan Ships’ Routeing System dan Ships’ Reporting System.

Indonesia sendiri telah menetapkan 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) melintasi perairan nusantara dan laut territorial serta menetapkan Traffic Separation Scheme (TSS) serta Mandatory Straits Reporting System di Selat Malaka dan Selat Singapura melalui konsultasi yang intensif dengan negara-negara maritim dan IMO.


  • berita




Footer Hubla Branding