Selasa, 7 Mei 2019

AMANDEMEN KONVENSI STCW-F DAN MODEL TRAINING COURSE BARU BAGI PELAUT MENJADI HIGHLIGHT PEMBAHASAN PADA S


Share :
12160 view(s)

JAKARTA (7/5) – Indonesia melalui Kementerian Perhubungan Cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut kembali menunjukkan peran aktifnya di dunia maritim international dengan mengirimkan delegasi untuk menghadiri Sidang International Maritime Organization (IMO) Sub Committee on Human Element Training and Watchkeeping (HTW) ke-6 di Markas Besar IMO di London pada tanggal 29 April s.d. 3 Mei 2019.

Sidang yang dihadiri oleh perwakilan negara-negara IMO, observer dari negara-negara anggota IMO serta berbagai asosiasi di bidang maritim ini dipimpin oleh Ms. Mayte Medina dari Amerika Serikat. Sedangkan Delegasi Republik Indonesia diketuai oleh Kasubdit Kepelautan Direktorat Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Perhubungan Laut, Capt. Hendri Ginting dengan anggota terdiri dari perwakilan Kemenko Kemaritiman, Balai Kesehatan Kerja Pelayaran Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Luar Negeri, Atase Perhubungan KBRI London, serta Fungsi Politik KBRI London.

Ginting menjelaskan, bahwa Sidang dilaksanakan dalam bentuk plenary, yang kemudian dibagi ke dalam 3 (tiga) Working Group dan 1 (satu) Drafting Group, yaitu Working Group on the Guidelines on the Comprehensive Review of the 1995 Convention on Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing cessel Personnel (Konvensi STCW-F (WG 1)), Working Group on Certification and Training Matters (WG 2), Working Group on Model Courses (WG 3) dan Drafting Group on Model Training Course.
WhatsApp Image 2019-05-07 at 15.10.17.jpeg
“Pada Sidang ini, ada beberapa isu yang mengemuka dan menjadi perhatian kita, yakni tentang pembahasan amandemen Konvensi STCW-F dan terkait pengembangan Model Training Course dan Penyelarasan Jenjang Pelatihan bagi Pelaut berdasarkan Konvensi STCW,” ungkap Ginting.

Terkait Comprehensive Review on STCW-F Convention, Ginting menjelaskan, bahwa baik pembahasan di Sub Komite maupun Working Group cenderung untuk menyelaraskan format Konvensi STCW-F dengan Konvensi STCW karena didasari oleh semangat untuk mendukung kemudahan mobilitas bagi pelaut yang memiliki sertifikasi dari masing-masing Konvensi.

“Namun demikian, Konvensi STCW-F hanya mengatur kemudahan pengakuan sertifikasi pelaut dari Konvensi STCW ke Konvensi STCW-F,” jelas Ginting.

Lebih lanjut, Ginting mengatakan bahwa pada WG 1 telah disepakati untuk menargetkan penyelesaian dari comprehensive review STCW-F Convention untuk dapat diadopsi pada Sidang Maritime Safety Committee (MSC) ke-106 pada tahun 2022 mendatang. 

“Rencananya akan dilaksanakan Intersessional Working Group untuk membahas draft amandemen Chapter III Konvensi STCW-F sebelum diajukan di Sidang MSC 106 untuk diadopsi. Adapun negara anggota dapat menyampaikan Submisinya paling lambat tanggal 10 Januari 2020,” ujar Ginting.

Sedangkan Pengembangan Model Training Course dimaksudkan untuk memberikan pelatihan terbaru bagi para pelaut agar memiliki kompetensi sesuai persyaratan minimum yang diwajibkan oleh Konvensi. Pada prinsipnya, lanjut Ginting, Pemerintah Indonesia dapat mendukung usulan-usulan yang disampaikan oleh negara anggota terkait pengembangan Model Training Course dan penyelarasan jenjang pelatihan tersebut.

Dengan tersedianya modul training course baru, yang nantinya akan diterapkan pada pendidikan dan pelatihan kepelautan di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan kompetensi pelaut Indonesia. Hal ini tentunya dapat memperbesar peluang pelaut Indonesia berkompetensi dengan pelaut asing untuk bekerja di kapal-kapal asing.

“Di samping itu, terdapat juga modul training untuk personel keamanan di pelabuhan. Dengan penerapan modul training ini di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan dunia internasional terhadap keamanan pelabuhan di Indonesia, yang pada akhirnya akan meningkatkan potensi kedatangan kapal-kapal asing ke Indonesia yang secara otomatis juga akan mendorong perekonomian Indonesia,” tukas Ginting.

Terkait dengan hal tersebut, Ginting menambahkan, bahwa pihaknya juga telah mengusulkan 2 (dua) orang perwakilan dari Indonesia untuk berpartisipasi bersama Course Developer dalam proyek pembuatan 3 (tiga) Modul Pelatihan IMO, yaitu Security Awareness for All Port Facility Personnel (IMO Model Course 3.25), Security Awareness for Seafarers with Designated Security Duties (IMO Model Course 3.26), serta Security Awareness Training for All Seafarers (IMO Model Course 3.27) yang akan dibahas pada Sidang HTW ke-7.
WhatsApp Image 2019-05-07 at 15.10.46.jpeg
Di samping kedua hal tersebut, yang juga menarik perhatian Pemerintah Indonesia pada Sidang HTW ke6 adalah usulan Pemerintah Iran terkait Pemeriksaan Kesehatan pada Pelaut, khususnya Inovasi terhadap Pemeriksaan Tes Buta Warna yang merupakan pengembangan dan inovasi dari pemeriksaan tes buta warna yang telah ada dan ditetapkan oleh STCW 1995 Amandemen Manila Bagian A1.9 dan yang diatur khusus melalui Aturan dari CIE 143 2001.

Pemeriksaan kesehatan ini juga berlaku bagi Pelaut Nelayan, di mana nelayan yang akan berlayar melakukan pemeriksaan kesehatan pada rumah sakit atau klinik yang ditentukan oleh pihak Kementerian terkait dengan standar pemeriksaan kesehatan Internasional. Adapun jika dilihat dari waktu kerjanya, pekerjaan Pelaut Nelayan biasanya membutuhkan waktu berlayar lebih lama sehingga tingkat kelelahannya pastinya lebih tinggi. Hal ini berarti pemeriksaan kesehatan yang dilakukan sebelum berlayar tentunya harus lebih ketat skrinningnya.

“Untuk itu, tentunya perlu dilakukan kajian lebih mendalam antar Kementerian/Lembaga dan Instansi terkait untuk merumuskan dan menghasilkan regulasi atau aturan yang tepat dan dapat diimplementasikan di Indonesia,” tutup Ginting.



  • berita




Footer Hubla Branding