Minggu, 13 Oktober 2024

MINIMALISIR PENANGKAPAN NELAYAN TRADISIONAL DI PERAIRAN PERBATASAN, INDONESIA-MALAYSIA CARI SOLUSI BERSAMA


Share :
148 view(s)

*JAKARTA (13/10)* - Dalam upaya mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh pelaut Indonesia yang bekerja di Malaysia serta nelayan tradisional di perairan perbatasan kedua negara, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kuala Lumpur melalui Atase Perhubungan RI mengadakan Workshop bertajuk “Addressing the Challenges Faced by Indonesian Seafarers Working in Malaysia and Traditional Fishermen in Indonesia-Malaysia Border Waters” di Jakarta, beberapa waktu silam. 

Acara ini diinisiasi oleh Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Malaysia, YM. Dato’ Indera Hermono, serta dihadiri oleh pejabat dari berbagai instansi terkait dari Indonesia dan Malaysia, termasuk perwakilan dari Kementerian Perhubungan. 

Dalam sambutannya pada Workshop tersebut, Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Capt. Antoni Arif Priadi, mengungkapkan bahwa Indonesia dan Malaysia berbatasan di Laut Tiongkok Selatan dan Laut Sulawesi, serta berbatasan dan mengelola bersama Selat Malaka yang digunakan untuk pelayaran internasional. 

“Perbatasan laut kedua negara ini digunakan bersama oleh para nelayan termasuk nelayan tradisional untuk mencari ikan. Minimnya kelengkapan peralatan navigasi di atas kapal sering kali mengakibatkan nelayan tersebut tanpa disadari memasuki teritori negara lain,” ungkapnya. 

Pelanggaran di wilayah perairan ini, lanjut Capt. Antoni, terkadang membuat nelayan dari kedua negara mengalami penangkapan oleh aparat penegak hukum kedua negara. Dalam hal pelanggaran oleh nelayan Indonesia, penangkapan dilakukan oleh otoritas Malaysia (APMM dan Polis Marin). “Sampai Desember 2023, tercatat sebanyak 21 kasus yang melibatkan penahanan perahu nelayan tradisional Indonesia di sekitar perairan Penang, Perak, Johor Bahru, dan Tawau, serta sebanyak 12 nelayan tradisional Indonesia yang sedang menjalani hukuman,” tutur Antoni. 

Lebih lanjut, mayoritas nelayan yang ditahan merupakan nelayan tradisional asal Sumatera Utara dan Aceh Timur. 

Untuk itu, pemerintah Indonesia dan Malaysia telah menandatangani MoU "The Common Guidelines Concerning Treatment of Fisherman By Maritime Law Enforcement Agencies of Malaysia and The Republic of Indonesia". “MoU tersebut menyatakan bahwa setiap ada pelanggaran di area perbatasan (Selat Melaka) untuk dapat dilakukan penghalauan dan bukan penangkapan,” tegasnya. 

Capt. Antoni menambahkan, Ditjen Perhubungan Laut melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-DJPL 17 Tahun 2024 telah menyoroti pentingnya perizinan usaha keagenan awak kapal sebagai tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Agung MA 67 Tahun 2022 tanggal 27 Desember 2022. “Kami juga terus berupaya untuk melakukan sosialisasi kepada seluruh stakeholder terkait guna memberikan panduan dan menciptakan keseragaman, kepatuhan dan kepastian hukum bagi pelaku usaha perekrutan dan penempatan awak kapal,” tandasnya. Ia menggarisbawahi sosialisasi ini sangat penting untuk mencegah Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) termasuk pelaut yang berangkat secara mandiri dan pelaut yang bekerja di kapal penangkap ikan.

*Tantangan Kedepan*

Pada kesempatan yang sama, Direktur Perkapalan dan Kepelautan, Capt. Hendri Ginting menjelaskan, kontribusi para nelayan tradisional di wilayah perbatasan tidak hanya dalam penyediaan sumber daya ikan, tetapi juga dalam menjaga kedaulatan dan keberlanjutan ekosistem laut. Namun data menunjukkan bahwa pelaut Indonesia yang terdaftar pada Jabatan Laut Malaysia setiap tahunnya mengalami fluktuasi jumlah. Pada tahun 2020 tercatat sebanyak 1.926 orang, tertinggi pada tahun 2021 mencapai 3.171 orang, dan menurun di 2023 sebanyak 1.914 orang, serta per Juni 2024 sebanyak 818 orang.

Capt. Hendri mengungkapkan, berbagai tantangan yang dihadapi seperti kurangnya pemahaman terkait isi kontrak, dan tingginya persaingan dengan pelaut dari negara lain membuat jumlah pelaut Indonesia yang bekerja di Malaysia mengalami penurunan. 

“Oleh karena itu, diharapkan melalui workshop ini menjadi sarana berdiskusi agar permasalahan-permasalahan tersebut dapat segera diminimalisir,” tutur Hendri. Dampaknya, diharapkan dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja pelaut yang terserap di luar negeri dengan kesejahteraan yang baik, serta mengurangi jumlah kasus penangkapan nelayan tradisional Indonesia yang memasuki perairan Malaysia baik disengaja maupun tidak disengaja. (AD/PF/AK)

  • berita




Footer Hubla Branding