JAKARTA (5/8) – Guna meningkatkan keselamatan pelayaran terutama dalam menanggulangi potensi bahaya yang ditimbulkan oleh kerangka kapal, Indonesia melalui Kementerian Perhubungan mengesahkan Konvensi Internasional Nairobi mengenai Penyingkiran Kerangka Kapal, 2007 ( Nairobi International Convention On The Removal Of Wrecks, 2007) melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor. 80 Tahun 2020 Tentang Pengesahan Nairobi International Convention On The Removal Of Wrecks, 2007 (Konvensi Internasional Nairobi Mengenai Penyingkiran Kerangka Kapal, 2007) yang ditandatangani Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo pada 20 Juli 2020 di Jakarta.
Menurut Direktur Perkapalan dan Kepelautan, Capt. Hermanta bahwa pengesahan konvensi ini penting untuk menanggulangi potensi bahaya yang ditimbulkan oleh kerangka kapal yang mengancam keselamatan pelayaran dan lingkungan laut serta untuk memberikan kepastian hukum terhadap pengaturan tanggung jawab dan ganti rugi penyingkiran kerangka kapal.
“Pengesahan Ratifikasi Konvensi Internasional Nairobi ini sejalan dengan komitmen Kementerian Perhubungan cq Direktorat Jenderal Perhubungan Laut untuk terus meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan terhadap lingkungan laut,” kata Capt. Hermanta di Jakarta (5/8).
Capt. Hermanta mengatakan bahwa Konvensi Internasional Nairobi tentang Penyingkiran Kerangka-Kapal, 2007, mengatur kewajiban asuransi penyingkiran kerangka kapal (Wreck Removal) yang mulai diberlakukan secara internasional sejak tanggal 14 April 2015.
“Konvensi ini juga menetapkan kewajiban ketat bagi pemilik kapal untuk mencari, menandai, dan mengangkat bangkai kapal yang dianggap bahaya dan mewajibkan pemilik kapal untuk membuat sertifikasi asuransi negara, atau bentuk asuransi lain untuk keamanan finansial perusahaan kapal” jelas Capt. Hermanta.
Menurutnya, dengan telah disyahkannya Konvensi Internasional Nairobi tentang Penyingkiran Kerangka-Kapal 2007 maka Indonesia akan memiliki wewenang untuk menerapkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konvensi ini di laut teritorialnya.
“Konvensi Nairobi ini juga menyebutkan bahwa setiap kapal yang melintasi wilayah perairan yang menjadi yurisdiksi Indonesia wajib dilengkapi dengan jaminan asuransi penyingkiran kerangka kapal” kata Capt. Hermanta.
Lebih jauh, Capt. Hermanta menjelaskan bahwa posisi strategis geografis Indonesia yang terletak diantara dua benua dan dua samudera yakni Benua Asia dan Benua Australia serta Samudera Hindia dan Samudera Pasifik menjadikan wilayah perairan, tidak hanya sebagai sebagai salah satu yang tersibuk di dunia, namun juga menjadikannya rentan terhadap kecelakaan kapal yang berdampak pada pencemaran lingkungan laut.
“Salah satu dampak yang diakibatkan terjadinya kecelakaan kapal di laut adalah adanya kerangka kapal yang kandas dan atau tenggelam tanpa ada tindakan atau tanggung jawab pemilik kapal,” ungkap Capt. Hermanta.
Terkait dengan hal tersebut, maka upaya penyingkiran kerangka kapal yang mengalami musibah di laut harus segera dilakukan karena dapat menimbulkan persoalan lanjutan yang berisiko bagi keselamatan dan keamanan pelayaran. Saat ini masih sering terjadi adanya kerangka-kerangka kapal yang mengalami kecelakaan dan tenggelam tidak disingkirkan karena rendahnya tanggung jawab pemilik kapal karena besarnya biya untuk pengangkatan kerangka kapal tersebut.
“Untuk itu maka kewajiban pemberlakuan asuransi penyingkiran kerangka kapal wajib diberlakukan. Dengan asuransi kapal ini tentunya akan memberikan perlindungan bagi pemilik kapal terutama jika terjadi musibah yang mengakibatkan kapal tenggelam, maka asuransi tersebut bisa mengganti biaya untuk pengangkatan kerangka kapal tersebut,” kata Capt. Hermanta.
Sebagai informasi, Organisasi Maritim Internasional atau International Maritime Organization (IMO) telah mengadopsi Konvensi Nairobi International Convention on the Removal of Wrecks, 2007 (Konvensi Internasional Nairobi mengenai Penyingkiran Kerangka Kapal, 2007) dalam Konferensi pada tanggal 18 Mei 2007 di Nairobi, Kenya.
Selain itu, berdasarkan amanah dari Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran juga menyebutkan bahwa pemerintah mewajibkan kepada para pemilik kapal untuk menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya maksimum 180 hari sejak kapal tenggelam.