BATAM (22/8) – Indonesia melalui Kementerian Perhubungan Cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menggelar pertemuan Marine Electronic Highway (MEH) Working Group Intersessional Meeting di Hotel Aston Batam pada hari ini (22/8).
Pertemuan yang dihadiri oleh tiga negara pantai (Indonesia, Malaysia, Singapura) serta perwakilan dari Malacca Straits Council (MSC) ini merupakan tindak lanjut dari hasil pertemuan 43rd Tripartite Technical Expert Group (TTEG) Meeting dan 10th MEH Working Group Meeting yang dihelat di Singapura pada tahun 2018, di mana diputuskan bahwa perlu dilaksanakan pembahasan lebih lanjut dalam pertemuan intersessional.
Direktur Kenavigasian, Basar Antonius, yang juga bertindak selalu Head of Delegation (HoD) Indonesia pada pertemuan ini mengungkapkan, bahwa pertemuan ini diselenggarakan untuk membahas lebih lanjut serta review terhadap MEH Data Centre, termasuk di antaranya harmonisasi format data dan rencana pengembangan serta pendanaan implementasi MEH.
Disampaikan Basar, MEH menggunakan inovasi teknologi terkini untuk menciptakan jaringan dan memelihara infrastruktur informasi kelautan yang sangat berguna bagi seluruh stakeholders dan pengguna Selat Malaka dan Selat Singapura.
“Sebagai cikal bakal dari E-Navigation yang didukung penuh oleh International Maritime Organization (IMO), MEH diharapkan dapat meningkatkan keselamatan pelayaran dan meminimalisir pencemaran lingkungan maritim yang tentunya perlu dibarengi dengan perbaikan operasi pelayaran dan penggunaan teknologi serta sistem manajemen yang baru,” jelas Basar.
MEH Data Centre, ujar Basar, memiliki peranan yang vital untuk mengintegrasikan data meteorologi, pasang surut, arus dan data lainnya yang berasal dari 3 (tiga) negara pantai untuk nantinya disampaikan kepada pengguna melalui aplikasi web portal MEH.
Namun demikian, dengan perkembangan teknologi yang demikian pesat, lanjut Basar, tentunya terdapat kebutuhan mendesak untuk memastikan MEH Data Centre dapat berfungsi secara optimal.
Saat ini MEH Data Centre sudah tidak optimal fungsinya, baik dari sisi hardware maupun software mengingat usia dari perangkat tersebut serta tingkat kesulitan operasional dan maintenance-nya, khususnya dalam debugging software dan spare perangkat. Di samping hal tersebut, keadaan sensor station dari tiap-tiap negara dan data exchange yang tidak berjalan sejak tahun 2017 juga menjadi faktor penghambat yang lainnya.
Basar mengatakan, pihaknya menyadari bahwa diperlukan restrukturisasi dan penataan ulang terhadap sistem dan infrastruktur MEH Data Centre yang dikembangkan pada tahun 2011 untuk dapat memenuhi persyaratan teknologi E-Nagivasi terkini.
“Tantangan ke depannya adalah bagaimana MEH ini dapat difungsikan kembali dengan merubah total hardware dan softwarenya, namun embrio MEH masih melekat walaupun struktur di dalamnya berubah. Perubahan ini tentunya harus mampu untuk memenuhi perkembangan teknologi dan kebutuhan pengguna di Selat Malaka dan Singapura,” tutup Basar.