JAKARTA (27/1) - Nama Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP) sering terdengar di telinga masyarakat Indonesia saat terjadi kecelakaan atau terkait penegakan hukum di laut. Hal ini dikarenakan instansi dengan semboyan Dharma Jala Praja Tama tersebut memiliki tugas untuk menjaga laut Indonesia dari segala bentuk gangguan dan ancaman serta mencegah dan menangani kerusakan lingkungan laut. Keberadaan KPLP ini tentunya sangat penting dalam menjaga keutuhan NKRI yang merupakan salah satu negara maritim terbesar di dunia.
Siapakah sosok sang penjaga laut Indonesia tersebut?
KPLP merupakan organisasi tertua di Indonesia yang melaksanakan penjagaan dan penegakan hukum di laut. Sejarah KPLP sudah dimulai sebelum Indonesia merdeka, tepatnya sejak zaman pemerintah Hindia Belanda.
Direktur KPLP, Ahmad mengungkapkan bahwa keberadaan KPLP di Persada Ibu Pertiwi ini sesuai dengan landasan hukum yakni Peraturan Pelayaran (Scheepvaart Reglement) LN 1882 No 115 junto LN 1911 No 399 (kepolisian di laut). UU Pelayaran (Scheepvaart Ordonantie) 1936 (Stb. 1936 No 700), Peraturan Pelayaran 1936 Pasal 4, dan Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim 1939 Pasal 13.
"Pada tahun 1942, tepatnya sebelum perang dunia ke dua terjadi, organisasi KPLP ini diatur dalam Dienst van Scheepvaart (Dinas Pelayaran) dan Gouvernment Marine (Armada Pemerintah)," kata Ahmad.
Ahmad melanjutkan, sejak tahun 1942 hingga tahun 70 an, organisasi ini mengalami beberapa kali perombakan dan pergantian nama. di tahun 1947 misalnya, yang menjalankan fungsi penjagaan pantai adalah Jawatan Urusan Laut RI di Yogya yang kemudian berganti menjadi menjadi Jawatan Pelayaran RI di tahun 1947.
Selanjutnya di tahun 1966 namanya berganti lagi menjadi Biro Keselamatan Pelayaran (BKP) dengan tugas menyelenggarakan Kepolisian Khusus di Laut dan SAR. Kemudian dengan bergantinya Departemen Maritim menjadi Departemen Perhubungan di tahun1968, tugas-tugas khusus SAR dimasukkan ke dalam Direktorat Navigasi, dan oleh Menhub diubah kembali namanya menjadi Dinas Penjaga Laut dan Pantai (DPLP) dengan tugas menyelenggarakan Kepolisian Khusus di Laut dan Keamanan Khusus Pelabuhan. Di tahun 1970, DPLP kemudian berubah menjadi KOPLP (Komando Operasi Penjaga Laut dan Pantai).
Hingga akhirnya, di tahun 1973 berdasarkan SK Menhub No.KM.14/U/plib-73 tanggal 30 Januari 1973 KOPLP menjadi KPLP (Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai) setingkat Direktorat. Tanggal tersebut hingga saat ini diperingati sebagai hari lahirnya KPLP.
Ahmad menyebutkan, menjelang usianya yang ke 48 ini, KPLP telah memiliki aset kapal patroli sebanyak 378 unit yang terdiri dari 7 unit kapal kelas I (60 meter), 15 unit kelas II (42 meter), 54 unit kelas III (28 meter), 65 unit kelas IV (15 meter), serta 237 unit kelas V (12 meter). Termasuk di dalamnya 39 (tiga puluh Sembilan) unit kapal yang berada di 5 (lima) Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai (PLP) yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, yaitu PLP Kelas I Tanjung Priok, PLP Kelas II Tanjung Uban, PLP Kelas II Surabaya, PLP Kelas II Bitung dan PLP Kelas II Tual.
“39 kapal yang dimiliki oleh 5 Pangkalan PLP tersebut yang memang ditugaskan khusus untuk berpatroli melaksanakan penegakan hukum di laut, baik itu menyangkut kapal berbendera Indonesia maupun kapal asing yang beroperasi masuk ke Indonesia,” kata Ahmad.
Sedangkan kapal-kapal Patroli yang ada di Kantor Syahbandar hanya beroperasi di daerah lingkungan kerja (DLKr) dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan (DLKp), adapun daerah di luar DLKr dan DLKp ini menjadi kewenangan dari 5 Pangkalan PLP.
Kapal-kapal Patroli ini, telah diinstruksikan untuk melakukan Patroli Keselamatan Maritim secara rutin untuk melakukan pengawasan, penjagaan dan penegakan hukum terkait keselamatan pelayaran di seluruh wilayah perairan Indonesia.
Ahmad juga menegaskan bahwa dalam mengemban tugas Negara sebagai penjaga keamanan dan keselamatan pelayaran, awak kapal negara KPLP adalah garda terdepan yang mengemban tugas tersebut disamping sebagai law enforcement atau penegakan hukum untuk kepentingan keselamatan pelayaran.
Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut telah ditetapkan sebagai administrator maritim (maritime administration) Indonesia yang keberadaannya menjadi perwakilan negara di International Maritime Organization (IMO) atau Dewan Organisasi Maritim Internasional. Tentunya, KPLP yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut juga banyak berperan di organisasi maritim internasional tersebut khususnya di bidang keselamatan, keamanan pelayaran dan perlindungan lingkungan maritim.
Adapun penunjukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut selaku administrator maritim di IMO tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 40 Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan, pasal 44 ayat (1) yang menetapkan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menjadi penanggung jawab pelaksanaan kegiatan dan administrasi Pemerintah pada Organisasi Maritim Internasional dan/atau Lembaga Internasional di Bidang Pelayaran lainnya, sesuai peraturan perundang-undangan.
Hal ini memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk ikut serta dalam menentukan kebijakan-kebijakan IMO yang sangat berpengaruh pada dunia kemaritiman. Keanggotaan Indonesia dalam Dewan IMO ini juga sangat mendukung dan sejalan dengan visi Presiden RI, Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
KPLP selaku salah satu anggota Tokyo MoU juga selalu aktif berpartisipasi dalam acara Technical Working Group dan Port State Control Committee (PSCC) mengenai standard kelaiklautan dan keamanan kapal. Tokyo MoU adalah organisasi Port State Control (PSC) yang terdiri dari negara-negara anggota di Asia Pasifik. Organisasi ini bertujuan mengurangi pengoperasian kapal di bawah standard internasional lewat kerja sama kontrol di masing-masing negara anggota. Setiap kapal harus menerapkan aturan standard International Maritime Organization (IMO) dan International Labour Organization (ILO), antara lain terkait keselamatan di laut, perlindungan lingkungan maritim, kondisi kerja, dan kehidupan awak kapal.
Dengan demikian, setiap kapal, terutama kapal-kapal asing yang masuk wilayah perairan Indonesia dapat dipastikan telah memenuhi standar internasional. Indonesia juga jadi lebih disegani dan memberikan kontribusi besar dalam menjaga pemenuhan aturan konvensi dalam beberapa aspek, antara lain kelaiklautan, keselamatan, keamanan, ketertiban, dan perlindungan maritim.
Ahmad menjelaskan, KPLP juga rutin melakukan hubungan kerjasama dengan Sea and Coast Guard berbagai Negara seperti UK Coast Guard dan US Coast Guard, baik untuk melakukan pemantauan dan patroli bersama, maupun untuk bekerjasama dalam hal peningkatan kapasitas SDM.
“Saat ini, KPLP memiliki kurang lebih 9.000 personil di seluruh Indonesia yang dilatih khusus dan memiliki fungsi penyidikan dan penegakkan hukum berdasarkan Ketentuan Nasional maupun Internasional,” ungkapnya.
Saat ini, Indonesia dan Singapura juga telah mempertajam kerja sama penanganan kecelakaan kapal feri di Selat Singapura yang merupakan salah satu selat tersibuk di dunia. Kerjasama tersebut diresmikan dalam acara Indonesia-Singapore Joint Ferry Mishap Contingency Plan (FMCP) Table Top Exercise Tahun 2018. Dengan pemberlakun FMCP ini, dapat memfasilitasi koordinasi antara Ditjen Hubla, Basarnas, dan Maritime and Port Authority of Singapore (MPA Singapore) dalam melakukan aksi yang terintegrasi dan bertujuan memastikan penyelenggaraan operasi pencarian dan penyelamatan yang cepat dan tepat sasaran untuk menyelamatkan jiwa bilamana terjadi kecelakaan kapal penyeberangan.
KPLP dan MPA Singapore melakukan latihan bersama sehingga kedua negara dapat mempelajari dan memahami penanganan terhadap kecelakaan kapal penyeberangan dengan konsep real situation. Latihan ini diharapkan dapat mengidentifikasi hambatan yang mungkin terjadi pada Indonesia dan Singapura dalam penanganan kecelakaan kapal penyeberangan.
Sementara itu, menjaga kelestarian lingkungan maritim juga menjadi hal penting yang selalu dilakukan KPLP. Saat ini, secara rutin Ahmad mengungkapkan pihaknya selalu bekerjasama dengan Phillipina dan Jepang untuk menggelar latihan bersama dalam rangka menanggulangi musibah tumpahan minyak, kebakaran kapal, pencarian dan pertolongan orang yang jatuh ke laut, serta menguji dan mengevaluasi kemampuan personil dan peralatan, baik secara local dengan melibatkan beberapa instansi terkait melalui Kegiatan Marine Pollution Exercise (Marpolex).