JAKARTA (1/2) – Setelah Sidang Plenary International Maritime Organization (IMO) Sub Committee Navigation Communication and Search and Rescue (NCSR) ke-6 yang diselenggarakan di Markas Besar International Maritime Organisation (IMO), London pada tanggal 16-25 Januari 2019 lalu menyetujui penetapan bagan pemisahan alur laut atau Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Sunda dan Selat Lombok, tugas berat menanti Indonesia untuk implementasi penuh TSS dimaksud.
Demikian disampaikan Direktur Jenderal Perhubungan Laut, R. Agus H. Purnomo pada acara Pemaparan Hasil Pertemuan 6th Sub-Committee on Navigation, Communications and Search and Rescue (NCSR) IMO terkait Penetapan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok yang digelar di Kantor Pusat Kementerian Perhubungan pada hari ini (1/2). Pertemuan ini mengundang perwakilan dari seluruh Kementerian atau Instansi terkait yang turut ikut sebagai Delegasi dalam Sidang NCSR ke-6 pada bulan Januari lalu, meliputi perwakilan dari Pusat Hidro Oceanografi TNI AL, Dinas Hukum TNI AL, Kemenko Maritim, serta jajaran Kementerian Perhubungan terkait.
Agus mengatakan bahwa, penetapan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok ini merupakan salah satu pencapaian Indonesia setelah melalui perjuangan panjang selama kurang lebih dua tahun sampai IMO menyetujui proposal pengajuan TSS oleh Indonesia tersebut.
“Untuk itu, penting bagi kita untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban kita dalam pengimplementasian penuh TSS di kedua selat tersebut, mengingat IMO terus memonitor pelaksanaan dan implementasinya,” tegas Agus.
Agus mengungkapkan tugas berat yang akan dihadapi oleh Indonesia dalam waktu dekat ini adalah mengawal TSS Selat Sunda dan Selat Lombok sampai kemudian diadopsi pada Sidang IMO Maritime Safety Committee (MSC) ke-101 pada bulan Juni 2019 mendatang.
Lebih lanjut, ujar Agus, Pemerintah Indonesia juga masih memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan, antara lain melakukan pemenuhan sarana dan prasarana penunjang keselamatan pelayaran di area TSS yang telah ditetapkan, meliputi Vessel Traffic System (VTS), Stasiun Radio Pantai (SROP), Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), serta peta elektronik terkini.
“Perlu diperhatikan, bahwa kita (Indonesia) juga harus menjamin operasional dari perangkat-perangkat penunjang keselamatan pelayaran tersebut selama 24 jam 7 hari,” katanya.
Agus juga menambahkan, bahwa Pemerintah Indonesia wajib mempersiapkan regulasi, baik lokal maupun nasional terkait dengan operasional maupun urusan teknis dalam rangka menunjang keselamatan pelayaran di TSS yang telah ditetapkan, serta melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan para instansi dan stakeholder terkait dengan penetapan TSS di kedua Selat tersebut.
“Oleh karena itu, saya menghimbau dan mengajak kepada semua Kementerian dan Lembaga terkait untuk bersama-sama mempersiapkan dengan baik, agar TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok ini dapat secara resmi diimplementasikan dengan baik dan lancar pada tahun 2020 mendatang,” tukas Agus.
Sementara itu, Direktur Kenavigasian, Basar Antonius, mengungkapkan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) pertama di dunia yang secara Internasional memiliki bagan pemisahan alur laut atau TSS.
Sebelumnya, kata Basar, Indonesia bersama Malaysia dan Singapura telah memiliki TSS di Selat Malaka. Namun karena dimiliki oleh 3 (tiga) negara, maka TSS di Selat Malaka tersebut berbeda pengaturannya. Adapun TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok ini wewenang pengaturannya dimiliki hanya oleh Indonesia. Inilah yang menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan pertama di dunia yang memiliki TSS melalui pengesahan oleh IMO dan berada di dalam ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) I dan ALKI II.
Lebih jauh lagi, dengan dipercayainya Indonesia oleh IMO untuk mengatur TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok yang juga merupakan ALKI tersebut, menurut Basar, menunjukkan peran aktif Indonesia dalam bidang keselamatan dan keamanan pelayaran internasional, serta memperkuat jati diri Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
“Ini adalah salah satu bukti keseriusan Indonesia di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dunia, serta perlindungan lingkungan maritime, khususnya di wilayah perairan Indonesia,” tukas Basar.
Menurut Basar, pengesahan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok ini juga dapat menjadi bekal dan prestasi Indonesia dalam upaya pencalonan kembali Indonesia sebagai negara anggota Dewan Council IMO kategori C untuk periode 2019 s.d.2020 melalui sidang IMO Assembly pada bulan November 2019 mendatang.
“Saya yakin, pengesahan TSS di Selat Sunda dan Selat Lombok ini dapat menjadi salah satu bekal dan prestasi Indonesia dalam upaya menggalang dukungan saat kampanye pencalonan kembali Indonesia sebagai anggota Dewan IMO Kategori C,” tutup Basar.