JAKARTA (18/1) - Indonesia telah terpilih kembali menjadi anggota Dewan International Maritime Organization (IMO) Kategori C periode 2018-2019 pada bulan Desember 2017 lalu. Hal ini menunjukan bukti kepercayaan dunia terhadap Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Untuk itu, selaku negara anggota Dewan IMO, Indonesia berkomitmen mengembalikan kejayaan maritim nusantara untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Demikian yang disampaikan Direktur Perkapalan dan Kepelautan, Junaidi saat membuka acara Sosialisasi Hasil Sidang IMO tahun 2017 dan Persiapan Pelaksanaan Sidang IMO 2018 di Jakarta kemarin (17/1).
Indonesia telah menjadi anggota IMO sejak 18 Januari 1961 dan telah meratifikasi konvensi IMO sebanyak 26 konvensi dengan jumlah total GT kapal terbesar ke 15 diantara negara anggota IMO yang berjumlah 172 negara anggota IMO.
Menurut Junaidi, tugas dan tantangan berat kedepan harus dapat diselesaikan oleh Indonesia dalam hal ini di bidang transportasi laut khususnya aspek keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim.
Menurutnya, IMO sebagai organisasi Internasional yang mengatur keselamatan, keamanan dan perlindungan lingkungan maritim berharap agar Indonesia dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap perwujudan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim di wilayahnya.
"Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) sebagai penunjang perdagangan dunia sehingga IMO berharap Indonesia dapat terus meningkatkan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim di wilayah perairan Indonesia," jelas Junaidi.
Lebih lanjut Junaidi menyebutkan bahwa sebagai anggota Dewan IMO, Indonesia harus dapat memanfaatkan keanggotaannya untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), konektifitas, infrastruktur transportasi laut dan daya saing industri serta pelayanan jasa kemaritiman.
Kedepan, Indonesia dalam hal ini Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut selaku maritime administration memiliki tugas dan tantangan yang menjadi sasaran dalam agenda kerja IMO di tahun 2018 yaitu memastikan usulan Traffic Seperation Scheme (TSS) dan Mandatory Ship Reporting System di Selat Sunda dan Selat Lombok di terima oleh IMO.
"Selain TSS, penetapan Particularly Sensitive Sea Areas (PSSA) di Gili Trawangan Lombok dan Nusa Penida Bali serta peningkatan pelayanan Voluntary Pilotage Ships di Selat Malaka dan Selat Singapura melalui circular IMO menjadi sasaran dan tugas yang harus diselesaikan Indonesia di tahun 2018 ini," kata Junaidi.
Peran serta aktif Indonesia sebagai anggota Dewan IMO kategori C perlu dioptimalkan agar sasaran di tahun 2018 yang ingin dicapai dapat terwujud seperti meningkatnya kemampuan melayani dan memonitor keselamatan pelayaran di selat Lombok dan selat Sunda.
Terwujudnya PSSA di Gili Trawangan dan Nusa Penida serta meningkatnya kemampuan melayani dan memonitor pemanduan di Selat Malaka dan Singapura tentu tak kalah penting agar dapat direalisasikan di tahun 2018 ini.
"Perwujudan hal-hal tersebut tentunya harus dibarengi dengan peningkatan daya saing Internasional bagi pelabuhan-pelabuhan utama Indonesia serta peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang transportasi laut yang pada akhirnya akan mengembalikan kejayaan maritim nusantara dan mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia," tutup Junaidi.