L O M B O K – Kementerian Perhubungan Cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut gelar Focus Group Discussion Penyusunan Traffic Separation Scheme (TSS) di Selat Lombok di Hotel Sheraton Senggigi, Lombok Nusa Tenggara Barat pada tanggal 8 s.d. 9 Agustus 2017.
Acara ini dibuka oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Dwi Budi Sutrisno mewakili Direktur Jenderal Perhubungan Laut, A. Tonny Budiono dan dihadiri pula oleh Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Arif Havas Oegroseno.
TSS berkaitan erat dengan keselamatan pelayaran mengingat TSS merupakan
suatu skema untuk pemisahan jalur lalu lintas pelayaran kapal-kapal yg berlawanan arah dalam suatu alur pelayaran yang ramai dan sempit, misalnya alur pelayaran saat memasuki pelabuhan atau selat.
Penetapan TSS tentu saja mempertimbangkan kondisi lebar alur pelayaran, dimensi kapal dan kepadatan lalu lintas pelayaran sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 129 Tahun 2016 Tentang Alur Pelayaran di Laut dan Bangunan dan/atau Instalansi di Perairan.
Dalam sambutannya, Dirjen Tonny menyampaikan, bahwa Penetapan TSS di Selat Lombok ini sejalan dengan visi dan misi Presiden RI, Joko Widodo yang tertuang dalam nawa cita untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Indonesia sendiri telah berhasil menetapkan 3 (tiga) Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) melintasi perairan nusantara dan laut territorial serta menetapkan Traffic Separation Scheme (TSS) dan Mandatory Straits Reporting System di Selat Malaka dan Selat Singapura melalui konsultasi yang intensif dengan negara-negara maritim dan Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization-IMO)
Untuk itu, Pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan telah menyampaikan kepada IMO rencana untuk menetapkan TSS pada Selat Sunda dan Selat Lombok di tahun 2017.
“Penunjukan TSS di Selat Lombok ini dikarenakan sebelumnya Indonesia telah mengusulkan ke IMO rencana penetapan Selat Lombok sebagai Particularly Sensitive Sea Area atau PSSA, area yang memerlukan perlindungan khusus karena memiliki potensi ekologi, sosial-ekonomi, serta area yang rentan terhadap kerusakan yang disebabkan dari aktivitas-aktivitas maritim internasional,” jelas Tonny.
Lebih lanjut, Tonny menyampaikan juga bahwa TSS di Selat Lombok merupakan salah satu bagian dari IMO Ships’ Routeing System yang sangat penting dalam penetapan PSSA di Selat Lombok. Penetapan TSS di Selat Lombok juga merupakan salah satu langkah strategis yang diambil oleh Pemerintah Indonesia, mengingat TSS tersebut terletak di Alur Laut Kepulauan Indonesia, sehingga penetapan TSS ini tentunya akan menimbulkan dampak pada Pelayaran Internasional dan Nasional.
Dirjen Tonny juga menyampaikan, bahwa keberhasilan penyelenggaraan transportasi laut sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pelayaran, tidak mungkin dapat terwujud tanpa jaminan keselamatan pelayaran di seluruh wilayah perairan Indonesia. Oleh karenanya, tanggung jawab kenavigasian tentunya semakin besar dalam menjamin tersedianya prasarana keselamatan pelayaran.
“Untuk memenuhi tanggung jawab dalam mewujudkan keselamatan pelayaran perlindungan lingkungan maritim, saya meminta dedikasi mutlak dari segenap jajaran kenavigasian dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut di seluruh Indonesia,” ujar Tonny.
Sementara itu, Direktur Kenavigasian, I Nyoman Sukayadnya menambahkan, bahwa Penetapan TSS ini sejalan dengan penetapan PSSA di Selat Lombok, karena TSS dan juga Mandatory Strait Reporting System merupakan Associated Protective Measures (APMs) yang akan diajukan ke IMO. Untuk itu, sangatlah penting untuk mendapatkan informasi mengenai PSSA secara luas dan menggali informasi lebih mendalam terkait legal perspective dalam penetapan PSSA di Selat Lombok, dengan merujuk ke UNCLOS 1982, IMO Conventions/Guidelines/Resolutions, serta hukum nasional yang berlaku.
Selain itu, Nyoman juga menjelaskan bahwa untuk menetapkan PSSA dan TSS tentunya diperlukan studi dan kajian yang komprehensif terkait data hidografi dan oseanografi, manajemen risiko, serta desain dari TSS tersebut yang dapat diperoleh melalui kajian teknis dan survei lapangan yang komprehensif, serta penilaian risiko dengan menggunakan Risk Assessment Tools dari IALA dan IALA IWRAP, yang biasa digunakan oleh negara-negara yang mengajukan IMO Ships’ Routeing System di IMO. Oleh karena itu, penting untuk memahami faktor-faktor teknis tersebut sebelum melakukan penetapan PSSA dan TSS.
“Untuk itulah pada FGD ini kami mengundang narasumber-narasumber yang ahli di bidang maritim, supaya dapat memahami lebih dalam penetapan TSS ini, baik dari sisi legal, dampak terhadap pelayaran internasional dan nasional, serta sisi teknis dan manajemen risikonya,” tutup Nyoman.