DENPASAR (3/4)– Sebagai tindak lanjut upaya Indonesia untuk menegaskan kedaulatan maritim Indonesia dalam mendukung visi dan misi Presiden RI, Joko Widodo, untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, Kementerian Perhubungan Cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut menggelar diskusi mengenai penetapan skema pemisahan alur pelayaran atau Traffic Separation Scheme (TSS) / Ship Reporting System (SRS) di Selat Lombok dan Selat Sunda.
Pada kegiatan diskusi yang akan dihelat selama 4 (empat) hari hingga hari Jumat (6/4) ini, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut melalui Direktorat Kenavigasian mengundang Mr. Osamu Marumoto, Technical Officer Operational Safety and Human Element dari Maritime Safety Division International Maritime Organization (IMO) dan perwakilan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya selaku National Consultant, serta diikuti oleh jajaran dari Direktorat Kenavigasian, Bagian Hukum dan Kerjasama Luar Negeri, serta Kantor Distrik Navigasi Benoa.
Ditemui di kantornya di Jakarta, Direktur Kenavigasian, Sugeng Wibowo, menyampaikan bahwa usulan Indonesia terkait penetapan TSS/SRS di Selat Lombok dan Selat Sunda dimaksud sudah sempat dibahas pada Sidang IMO Sub-Committeee on Navigation, Communication, Search & Rescue (NCSR) ke-5 pada bulan Februari 2018.
“Indonesia telah menyampaikan information paper mengenai penetapan TSS dan SRS di Selat Lombok dan Selat Sunda pada Sidang NCSR ke-5 yang lalu. Pada pertemuan tersebut, Chair juga telah mengundang negara-negara anggota IMO yang lain untuk memberikan feedback langsung ke Indonesia,” jelas Sugeng.
Kegiatan diskusi kali ini, menurut Sugeng, merupakan tindak lanjut dari Sidang dimaksud dalam rangka menyempurnakan proposal Indonesia untuk menetapkan TSS dan SRS di Selat Lombok dan Selat Sunda, yang rencananya akan diajukan pada Sidang IMO NCSR ke-6 pada tahun 2019 mendatang.
“Untuk itulah, pada kesempataan ini kita mengundang ahli dari IMO, konsultan nasional dari ITS, serta pihak-pihak terkait untuk semakin menyempurnakan proposal yang akan kita ajukan,” ujar Sugeng.
Turut serta dalam kegiatan diskusi, Kepala Kantor Distrik Navigasi Kelas I Benoa, Sudarwedi, menyampaikan bahwa penetapan TSS/SRS di Selat Lombok dan Selat Sunda selain penting untuk menjamin terciptanya keselamatan pelayaran, juga tak kalah pentingnya untuk perlindungan lingkungan maritim.
“Kita semua ketahui bahwa Selat Sunda dan Selat Lombok termasuk Selat tersibuk di dunia, yang dilalui baik pelayaran nasional maupun internasional. Padatnya lalu lintas di kedua Selat tersebut tentunya membutuhkan perhatian dari semua pihak, karena besarnya risiko kecelakaan kapal yang mungkin terjadi,” tutur Sudarwedi.
Selanjutnya, selain risiko kecelakaan kapal yang disebabkan oleh tubrukan, Sudarwedi juga menjelaskan bahwa terdapat risiko kecelakaan kapal yang disebabkan karena batimetri atau kedalaman laut di Selat Sunda yang bervariasi. Selain itu, di sebelah timur Laut Selat Sunda juga terdapat Karang Koliot yang sangat berbahaya bagi kapal-kapal yang melintas.
“Sedangkan Selat Lombok terletak pada segitiga karang yang kaya akan keanekaragaman hayati laut yang harus kita lindungi. Di sana banyak spesies-spesies laut yang terkenal dan langka yang sensitif terhadap dampak dari aktivitas pelayaran,” tegas Sudarwedi.
Selain itu, Sudarwedi menambahkan, khusus pada Selat Lombok, TSS akan berfungsi sebagai salah satu Associated Protective Measures (APMs) pada Particularly Sensitive Sea Area (PSSA) di wilayah Selat Lombok, yang draft submisinya akan diajukan ke IMO pada Sidang Marine Environment Protection Committee (MEPC) ke-74 tahun depan.
Lebih lanjut, Sudarwedi menyatakan bahwa seluruh Kementerian/Lembaga terkait di Indonesia perlu bekerjasama melangkah ke depan untuk mendukung rencana penetapan TSS di Selat Lombok dan Selat Sunda, mengingat kedua Selat dimaksud merupakan jalur transportasi yang sangat vital dan strategis bagi pelayaran internasional.
“Untuk itulah, hasil diskusi kita seminggu ini nantinya akan disempurnakan kembali pada acara internasional workshop minggu depan, di mana kita akan mengundang perwakilan Negara Maritim di Indonesia yang memiliki pengaruh di IMO, serta stakeholders terkait guna menghimpun dukungan terhadap usulan kita, sehingga diharapkan Draft Penetapan TSS di kedua Selat tersebut dapat diadopsi pada Sidang IMO NCSR ke-6 tahun depan,” jelas Sudarwedi.
Traffic Separation Scheme (TSS) merupakan suatu skema pemisahan jalur lalu lintas pelayaran kapal-kapal yang berlawanan arah dalam suatu alur pelayaran yang ramai dan sempit, misalnya alur pelayaran saat memasuki pelabuhan atau selat. Penetapan TSS tentu saja mempertimbangkan kondisi lebar alur pelayaran, dimensi kapal, serta kepadatan lalu lintas pelayaran, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 129 Tahun 2016 tentang Alur Pelayaran di Laut dan Bangunan dan/atau Instalansi di Perairan.
Sedangkan pertimbangan dalam penentuan dan penyusunan data teknis TSS mengacu pada hasil survey bathymetri, traffic density, channel cross section and alignment, navigational traffic patterns, water and wind current, serta visibility and ship controlling yang dianalisa dan dilakukan permodelan dengan menggunakan aplikasi IALA-Waterways Risk Assessment Program (IWRAP), yang merupakan Risk Assessment Tools yang biasa digunakan oleh Negara Anggota IMO dalam mengajukan Ships’ Routeing System dan Ships’ Reporting System.
Indonesia sendiri telah berhasil menetapkan 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) melintasi perairan nusantara dan laut territorial, serta menetapkan Traffic Separation Scheme (TSS) dan Mandatory Straits Reporting System di Selat Malaka dan Selat Singapura bersama dengan Malaysia dan Singapura, melalui konsultasi yang intensif dengan negara-negara maritim dan IMO.