NUSA DUA (27/3) – Kementerian Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut bekerjasama dengan Australian Maritime Safety Authority (AMSA) menggelar pertemuan pertama atau disebut juga The Inaugural Marine Pollution Committee (MPC) Meeting bertempat di Hotel Inaya Putri, Nusa Dua, Bali pada hari ini (27/3).
Membuka pertemuan dimaksud, Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Arif Toha, menyampaikan bahwa pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari Memorandum of Understanding on Transboundary Marine Pollution Preparedness and Response yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Australia di Bali pada bulan Oktober 2018.
“Pertemuan Marine Pollution Committee ini merupakan penerapan dari pasal 10 MoU tersebut, yaitu terkait hal-hal yang mengatur pembentukan komite dan kerangka kerja MPC serta tugas dan tanggung jawabnya,” ungkap Arif.
Arif menjelaskan, bahwa dalam MoU tersebut, Indonesia dan Australia juga sepakat bahwa Pertemuan MPC Meeting ini akan diselenggarakan secara rutin setiap tahun untuk membahas dan bertukar informasi serta pengalaman terkait kemampuan, kesiapsiagaan, tanggung jawab, dan kompensasi untuk isu penanggulangan tumpahan minyak di laut, termasuk di dalamnya rencana, kebijakan, serta prosedur tanggap darurat terhadap kejadian pencemaran terutama tumpahan minyak di laut.
“Pada pertemuan pertama ini, saya harap Indonesia dan Australia dapat melakukan diskusi serta menyusun dasar dan kerangka kerja sama untuk melaksanakan program-program Komite Pencemaran Laut Indonesia dan Australia di masa mendatang,” ujarnya.
Sementara itu, bertindak sebagai Head of Delegation Indonesia, Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai (KPLP), Ahmad, menjelaskan bahwa MPC memiliki tugas untuk mempertimbangkan dan membuat rekomendasi berupa kebijakan dan prosedur terkait tanggung jawab dan kompensasi terhadap kerugian akibat pencemaran terutama tumpahan minyak laut serta yang isu-isu yang terkait dengan pencemaran di laut.
Melalui Pertemuan MPC, Indonesia dan Australia akan berbagi informasi mengenai kondisi terkini kemampuan masing-masing negara dalam menanggulangi pencemaran laut terutama yang diakibatkan oleh tumpahan minyak di laut serta rencana ke depan, kesiapsiagaan, serta terkait tanggung jawab dan kompensasinya. Selain itu, Indonesia dan Australia juga akan menjelaskan tentang perencaan tanggap darurat nasional serta kebijakan dan prosedur penanggulangan pencemaran di laut di masing-masing negara.
“Melalui pertemuan ini, kedua negara juga dapat bersama menyusun kerja sama kebijakan dan prosedur penanggulangan pencemaran laut yang sesuai dan komplementer, termasuk tentunya permasalahan tanggung jawab dan kompensasi atas pencemaran terutama tumpahan minyak di laut,” imbuh Ahmad.
Lebih lanjut, pada setiap pertemuan MPC ini juga akan dilakukan pengkajian ulang terhadap pelaksanaan MoU serta pengembangan dan pengkajian ulang Standar Operasional Prosedur (SOP) bersama dan juga pelaksanaan Dokumen IMO OPRC, CLC, serta IOPC Fund mengenai isu tanggung jawab, prosedur dan kompensasi terkait dengan kerugian akibat pencemaran tumpahan minyak di laut yang terjadi baik yang berada di wilayah masing-masing, maupun yang terjadi di lintas batas wilayah negara yang diakibatkan oleh kegiatan kapal, pelabuhan, eksplorasi dan eksploitasi lepas pantai, maupun yang terkait lainnya".
“Dalam mengembangkan SOP penanggulangan pencemaran minyak lintas batas ini mencakup banyak unsur, misalnya pembaruan data National Contact Points baik di Indonesia maupun Asutralia, metode komunikasi yang digunakan, informasi apa yang ingin disampaikan, serta jangka waktu komunikasi dalam penanganan terhadap pencemaran di laut terutama yang diakibatkan oleh tumpahan minyak di laut,” kata Ahmad.
Untuk itu, melalui pertemuan ini, baik Indonesia maupun Australia diharapkan bisa memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif terkait dengan kemampuan penangangan dan penanggulangan pencemaran laut terutama akibat tumpahan minyak di laut. Selain itu, pertemuan ini juga diharapkan dapat membuka peluang untuk meningkatkan kemampuan SDM terkait hal tersebut.
“Misalnya dengan program pertukaran serta kunjungan pegawai, melakukan pelatihan bersama penanggulangan pencemaran, serta berbagi hasil pengembangan dan riset terkini terkait teknik, metode, serta peralatan penganggulangan pencemaran di laut terutama yang diakibatkan tumpahan minyak,” jelas Ahmad.
Pada pertemuan pertama ini, lanjut Ahmad, Indonesia mengajukan beberapa program kerjasama baru untuk diselenggarakan di bawah kerangka Indonesia Transport Safety Assistance Package (ITSAP) Marine Environment Cooperation Program atau Program Kerjasama Perlindungan Lingkungan Laut ITSAP, baik dalam bentuk Proyek Bersama, Pelatihan maupun Asistensi.
“Tahun ini kita ajukan penyelenggaraan program kerjasama berupa beberapa Pelatihan dan Asistensi, antara lain yaitu Pelatihan Sistem Pengolahan Air Balas (Training Course of Inspection for Ballast Water Treatment System), Pelatihan Kering atas Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut (Table Top Exercise for Oil Pollution Response and Preparadness), Pelatihan Inspeksi Sistem Pembersihan Gas Buang (Training Course for Exhaust Gas Cleaning Systems Inspection), Pelatihan Survey Baseline Biologis Pelabuhan (Training Course for Port Biological Baseline Surveys), serta Asistensi dalam Melaksanakan Survey Baseline Biologis Pelabuhan (Assistance in Conducting Port Biological Baseline Survey,” tukas Ahmad.
Selain kerjasama berupa program Training dan Asistensi, Indonesia juga mengajukan kerjasama Pilot Project in Establishment of Port Reception Facility atau Proyek Percontohan dalam Pendirian Fasilitas Penerimaan Limbah dari Laut di Pelabuhan. Proyek Percontohan ini diharapkan dapat membantu Indonesia dalam membangun Fasilitas Penerimaan Limbah dari Laut di Pelabuhan guna mengatasi masalah pengelolaan limbah dari kapal, aktifitas di pelabuhan, eksplotasi dan eksplorasi minyak lepas pantau untuk memastikan limbah yang keluar dari kegiatan dimaksud dapat ditangani sebagaimana mestinya. Tujuan dari pendirian Fasilitas Penerimaan ini adalah untuk menyediakan fasilitas bagi pelabuhan untuk mengumpulkan residu, campuran minyak dan sampah yang dihasilkan dari kapal laut, kegiatan di pelabuhan dan ekplorasi serta ekploitasi lepas pantai minyak dan gas bumi.
“Ada 5 (lima) Pelabuhan yang diusulkan untuk ditunjuk menjadi Pilot Project ini, yaitu Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Balikpapan, Pelabuhan Dumai, serta Pelabuhan Benoa. Proyek ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan Fasilitas Penerimaan yang sudah ada di beberapa pelabuhan di Indonesia. Proyek ini sendiri diusulkan untuk dilaksanakan untuk periode 2019/2020 mendatang dan dapat berkelanjutan,” ungkap Ahmad.
"Kita berharap kerjasama Indonesia Australia dapat semakin erat dalam penanganan dan penanggulangan tumpahan minyak di laut sebagaimana yg sudah dilakukan tahun lalu melalui inisiasi kersama dan partisipasi Indonesia sebagai observer dalam latihan penanggulangan tumpahan minyak di laut yang dilaksanakan di Australia" pungkas Ahmad.
Sebagai informasi, Pertemuan MPC pertama ini diselenggarakan sehari sebelum pelaksanaan Indonesia – Australia Transportation Sector Forum (TSF) 2019 yang rencananya akan diselenggarakan di tempat yang sama pada esok harinya (28/3).
Adapun pada Pertemuan ini Delegasi Australia dipimpin oleh General Manager, Standards, AMSA, Mr. Brad Groves yang mengetuai 3 orang anggota delegasi yang terdiri Acting Manager International Engagement AMSA, Manager Crisis Preparedness and Response AMSA, serta Advisor International Engagement AMSA.
Sedangkan Delegasi Indonesia dipimpin oleh Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai sebagai Ketua Delegasi dengan anggota yang berasal dari perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Direktorat Perkapalan dan Kepelautan Ditjen Hubla, Direktorat KPLP, Bagian Hukum dan KSLN Ditjen Hubla, serta SKK Migas.