JAKARTA – Kementerian Perhubungan cq Direktorat Jenderal Perhubungan Laut beberapa waktu yang lalu mengeluarkan telegram pelarangan pemberian Surat Izin Berlayar (SPB) kepada kapal- kapal Indonesia yang akan berlayar ke Filipina terkait adanya kejadian pembajakan kapal berbendera Indonesia di perairan Filipina.
Berbagai macam upaya telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Luar Negeri dan instansi terkait lainnya untuk memberikan kepastian keamanan bagi kapal-kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar ke Filipina dengan melakukan koordinasi dengan otoritas dan Pemerintah Filipina.
Akhirnya, pada tanggal 26 Oktober 2016, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan mengeluarkan surat dengan Nomor B-159/MENKO/POLHUKAM/De-IV/HN.02.1/10/2016 perihal Pencabutan Morotarium bagi Kapal-kapal Berbendera Indonesia yang Berlayar dengan Jalur Pelayaran Indonesia-Filipina.
Dalam surat Menko Polhukam yang ditujukan untuk Menteri Perhubungan dimaksud disebutkan bahwa dikarenakan banyaknya masukan terhadap penerapan kebijakan moratorium terhadap kapal-kapal pengangkut batubara ke Filipina maka diperlukan langkah revisi secara tepat.
Selanjutnya, Duta Besar RI KBRI Filipina, Ketua Umum DPP INSA, Direktur Utama PT. Pelindo IV (Persero), dan Staf Khusus Menko Maritim menyampaikan masukan bahwa penerapan moratorium terhadap moda transportasi laut berbendera Indonesia sangat merugikan kepentingan Indonesia yaitu berhentinya moda transportasi laut berbendera Indonesia yang berlayar menuju Filipina, dan komoditas ekspor Indonesia lainnya ke Filipina menjadi lebih mahal karena harus melalui negara lain.
Untuk itu, guna mencegah kerugian semakin besar yang dialami moda transportasi laut berbendera Indonesia yang belayar menuju Filipina, maka Kemenko Polhukam memberikan rekomendasi kepada Kementerian Perhubungan untuk segera mencabut moratorium terhadap kapal-kapal besar dan kapal lainnya yang melewati rute aman serta tetap memberlakukan moratorium terhadap kapal-kapal kecil/tugboat pembawa batubara yang melewati rute rawan pembajakan sampai dengan adanya perjanjian kerjasama tentang pemberlakuan Sea Corridor dan Sea Marshall.
Atas dasar itulah, Kementerian Perhubungan cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut mengeluarkan Telegram Nomor 183/X/DN-16 tanggal 28 Oktober 2016 yang berisi Pelarangan Kapal-kapal Melakukan Pelayaran ke Filipina dengan Ukuran di Bawah 500 GT yang ditujukan kepada para Kepala Kantor Kesyahbandaran Utama, para Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP), Kepala Kantor Pelabuhan Batam, para Kepala Distrik Navigasi, para Kepala Unit Penyelenggara Pelabuhan (UPP), dan para Kepala Pangkalan Penjagaan Laut dan Pantai.
Dalam telegram tersebut Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Ir. A. Tonny Budiono, MM, menginstruksikan kepada Syahbandar untuk tidak menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB) bagi semua kapal berbendera Indonesia yang akan berlayar menuju Filipina dengan ukuran kapal di bawah 500 GT.
“Selain itu, Syahbandar juga dilarang untuk menerbitkan SPB bagi tugboat yang menggandeng tongkang berlayar menuju Filipina,” jelas Tonny Budiono.
“Dengan terbitnya Telegram ini, maka Kapal di atas 500GT dapat berlayar ke Filipina namun mengikuti alur pelayaran yang direkomendasikan dengan menghindari daerah konflik atau perairan Selatan Filipina dan Perairan Malaysia Timur,” tegas Dirjen Hubla.
Dengan dikeluarkannya instruksi ini menunjukkan keseriusan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan untuk selalu mengutamakan keselamatan dan keamanan pelayaran yang merupakan tanggungjawab bersama dan memperhatikan kepentingan perekonomian Indonesia.
“Untuk itu, seluruh pihak harus saling bahu-membahu mewujudkan keselamatan dan keamanan demi kepentingan bersama dan memperhatikan telegram atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah“, ungkap Tonny Budiono.