Jumat, 23 Februari 2018

IMO TELAH MENCATAT RENCANA PENETAPAN TRAFFIC SEPARATION SCHEME (TSS) PELAYARAN DI SELAT LOMBOK DAN SELA


Share :
3668 view(s)

LONDON (23/2) – ,"Negara-negara anggota International Maritime Organization (IMO) telah mencatat usulan Indonesia untuk menetapkan Traffic Separation Scheme (TSS) guna menjamin keselamatan pelayaran di Selat Sunda dan Selat Lombok sesuai dengan ketentuan keselamatan IMO”, demikian ditegaskan oleh Dewa Made Sastrawan, Staf Khusus Menhub Bidang Hubungan Internasional, selaku Ketua Delegasi Indonesia ke Sidang ke-5 Sub Committee on Navigation, Communication, Search and Rescue of IMO (NCSR 5) yang telah berlangsung di London pada tanggal

19-23 Februari 2018.

Selanjutnya, Dewa Made Sastrawan,  menyatakan bahwa dengan diterimanya rencana penetapan TSS di Selat Lombok dan Selat Sunda tersebut oleh negara-negara anggota, maka Delegasi Indonesia sejak di London telah  mulai mengadakan konsultasi dengan negara-negara kunci untuk menyempurnakan proposal Indonesia tersebut dan menargetkan akan menyampaikan proposal final untuk penetapan TSS Selat Lombok dan Selat Sunda kepada Sekretariat IMO pada bulan Agustus 2018. 

"Untuk itu Kami telah mulai mengadakan pertemuan dengan beberapa ketua delegasi negara kunci disela-sela Sidang NCSR 5 ini, untuk membahas usulan TSS Indonesia tersebut dan mulai minggu depan kami akan melanjutkan konsultasi melalui Kedutaan negara-sahabat di Jakarta", imbuh Dewa Made Sastrawan.

Pada kesempatan Sidang NCSR 5 tersebut Direktur Kenavigasian, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kemenhub, Sugeng Wibowo menegaskan bahwa sesuai dengan prosedur maka dokumen informasi konsep rencana penetapan Traffic Separation Scheme (TSS) dan Ship Reporting System (SRS) di Selat Lombok dan Selat Sunda ini diajukan dalam NCSR 5 ini untuk dikonsultasikan dan disempurnakan guna dapat disahkan dalam NCSR 6 pada bulan Januari 2109.

Lebih jauh Sugeng Wibowo menjelaskan bahwa TSS merupakan suatu skema pemisahan jalur lalu lintas pelayaran kapal-kapal dalam suatu alur pelayaran yang ramai dan sempit serta banyaknya hambatan bernavigasi, misalnya alur pelayaran saat memasuki pelabuhan atau selat.

Penetapan TSS sangat mempertimbangkan kondisi lebar alur pelayaran, dimensi kapal, serta kepadatan lalu lintas pelayaran, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan No. 129 Tahun 2016 Tentang Alur Pelayaran di Laut dan Bangunan dan/atau Instalansi di Perairan.

Sedangkan pertimbangan dalam penentuan dan penyusunan data teknis TSS mengacu pada hasil survey bathymetri, traffic density, channel cross section and alignment, navigational traffic patterns, water and wind current, serta visibility and ship controlling yang dianalisa dan dilakukan permodelan dengan menggunakan aplikasi IALA-Waterways Risk Assessment Program (IWRAP), yang merupakan Risk Assessment Tools yang biasa digunakan oleh Negara Anggota IMO dalam mengajukan Ships’ Routeing System dan Ships’ Reporting System.

Indonesia sendiri telah menetapkan 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) melintasi perairan nusantara dan laut territorial serta menetapkan Traffic Separation Scheme (TSS) serta Mandatory Straits Reporting System di Selat Malaka dan Selat Singapura melalui konsultasi yang intensif dengan negara-negara maritim dan IMO.

Atase Perhubungan KBRI London, Simson Sinaga menjelaskan bahwa pengajuan TSS serta Ship Reporting System (SRS) menunjukan peran aktif Indonesia dalam berinisiatif menentukan rute pergerakan kapal sebagai negara yang berdaulat atas wilayah perairan lautnya sendiri berdasarkan ketentuan internasional yang berlaku.

Pengajuan tersebut diperlukan mengingat kedua Selat dimaksud merupakan jalur transportasi laut internasional yang sangat vital dan strategis serta padat.  Sebagai alur pelayaran internasional, kedua Selat tersebut harus terjamin keselamatan pelayarannya.

Penetapan TSS di Selat Sunda sudah menjadi kebutuhan untuk mewujudkan keselamatan pelayaran di kawasan tersebut, mengingat kapal yang melintasi Selat tersebut sudah mencapai 50.000 kapal setiap tahunnya, yang tentunya akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan perekonomian.

Sidang IMO Sub-Committee NCSR ke-5 sendiri dipimpin oleh Chairman, Mr. R. Lakeman dari Belanda, dengan Vice Chairman, Mr. N. Clifford dari New Zealand yang membahas tentang semua hal yang terkait dengan kenavigasian dan telekomunikasi pelayaran, termasuk analisis dan persetujuan atas ship routeing measures dan ships reporting system; persyaratan pengangkutan dan standar performa peralatan kenavigasian dan telekomunikasi; sistem Long-Range Identification and Tracking system (LRIT); pengembangan e-navigation serta hal-hal terkait Search and Rescue (SAR) serta Global Maritime Distress and Safety System (GMDSS).

Adapun Delegasi Indonesia dalam sidang IMO NCSR tersebut diketuai oleh Staf Khusus Menteri Perhubungan bidang Organisasi Internasional, Dewa Made Sastrawan dan perwakilan dari Direktorat Kenavigasian dan Bagian Hukum & KSLN Ditjen Hubla Kementerian Perhubungan, Kementerian Luar Negeri, Atase Perhubungan RI di London, serta akademisi dari Institut Teknologi 10 November Surabaya.


  • berita




Footer Hubla Branding